(Slb Siswa Budhi Surabaya)
“Hai Dhek, ayo masuk kelas”, ajak Nani.
Kakiku
langkahkan menuju kelas. Saat didepan kelas langkahku terhenti.
Buset !, siapa yang duduk dibangkuku, pikirku.
“Hhmmm, kenapa juga kelas elektro pindah
dikelasku”, gumamku.
“Hei, kenapa buka-buka buku orang”,
tanyaku dengan suara keras.
“oh, ini buku kamu, maaf, aku tidak
bermaksud lancang”, ucapnya.
“Sini kembalikan”, pintaku.
Dengan
sopan dia mengembalikan buku puisiku.
“Sopan juga sikapnya. Semoga dia tidak
membaca halaman itu”, gumamku.
“Aduh, Tuhan, siapa, sih, dia itu !”
ucapku lirih.
Sejak
kejadian dikelas tadi, mengapa aku jadi gugup bila memandangnya?
Ah, sial.Sikapnya yang sopan sudah
membiusku untuk selalu memikirkannya.
Kumakan ote-ote, dengan pikiran yang
penuh dengan dirinya. Aku berusaha melupakannya. Tapi susah, tetap saja
kepikiran meskipun sesekali.
Aduh, siapa, sih, dia itu?
Setahuku,
dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas. Cuma itu, tapi aku tidak tahu
siapa namanya dan dari kelas apa dia. Tapi kenapa aku tertarik padanya?
Ah, ngapain juga ku pikirin! Emang,
siapa dia?
Aku
kembali ke kelas untuk melanjutkan sisa pembelajaran hari ini.
“Hei, kenapa disini? Terdengar suara
dari arah kananku.
Tidaaaakkkk ! Bagaimana ini, aduh,
tolong Tuhan, teriakku dalam hati.
Mukaku
memerah, bibirku bergetar. Rasanya ingin lari saja. Kenapa dia tiba-tiba ada di
sampingku. Padahal tadi si Nani .
“Nani mana, sih”, gumamku.
“Masry kelas XI-E”, ucapnya.
Bergegas aku pergi meninggalkanya, tanpa menyambut jabat tangan itu. Semoga rasaku tak terbaca olehnya.
“Ada apa, Dhek ?” tanya Nani.
“Kamu tadi kemana, Sih?” tanyaku.
“Maaf, aku tadi habis di panggil pak
Sunu”, jawab Nani.
“Aduh, bilang kalau mau pergi”,
ucapku.
“ Maaf, ada pa?” tanya Nani.
Aku menceritakan apa yang telah terjadi
dikelas.Nani bilang, Masry harusnya kelas XII, tapi dia tidak naik kelas. Jadi
sekarang dia seangkatan dengan kita. Masry beragama Nasrani, dia juga ketua
kerohanian.
Itulah harinya, hari aku tahu namanya.
Cowok yang sudah cukup lama mencuri perhatianku. Wajahnya biasa aja tapi sikap
sopannya sudah mencuri hatiku.
Oh, ya, aku sering melihat dia masuk
ruang bu Agnes, ternyata dia Nasrani! Tapi benar-benar tidak terlihat kalau dia
Nasrani.
Setelah hari itu, Masry jadi sering ke kelasku. Kelas kita tidak jauh, hanya dipisahkan lorong menuju musholah. Senang sekali, aku tidak perlu mencari-cari dia. Seperti hari ini, dia masuk kelasku dan tiba-tiba meletakkan sebuah buku didepanku.
“Baca dirumah, kalau sempat”,
ucapnya.
“Apa ini? tanyaku.
Tanpa
memberi jawaban, dia meninggalkan kelasku. Tinggal aku yang melongo kebingungan.
Brak, kujatuhkan badan di kasur.
Hari ini capek sekali, kulepas sepatu dan tas yang sudah menyiksa bahuku.
Tiba-tiba aku teringat buku dari Masry. Aku cari buku yang diberi oleh Masry,
tapi tidak ada. Kuputar otakku, dimana buku itu tadi? Barang-barang didalam tas
berserakan di kasur. Ku cari lagi buku itu dengan lebih teliti. Mata ku buka
lebar-lebar. Akhirnya dengan kekuatan penuh, dapat ku temukan buku itu.
Kasur ku bersihkan dari
barang-barang sekolah. Aku buka buku itu sambil rebahan diatas kasur.
Nikmatnya, pikirku. Setelah seharian berkutat dengan buku pelajaran dan celoteh
guru.
Dadaku berdegup kencang, ternyata isi
didalam buku tersebut adalah sepucuk surat . Surat itu ditulis dengan tinta warna
warni. Aku tertawa lirih. Rapi juga tulisannya, pikirku. Mulai ku baca, kata demi
kata isi surat nya,
Kepada
Gadis Putih-Abuku
Menuai
pagi, menata nafas,
Sembari
menatap gadis berseragam putih abu,
Meniti
tiap rindu, menjaring nafas-nafas cinta.
Sedikit
menguak dalam relung hati,
Yang
kian hari teradang oleh rasaku padamu.
Hai
gadis putih-abuku,
Izin
kan penaku menjadi gambaran hatiku padamu.
Aku
disini ingin mengungkapkan,
Bahwa
aku PECINTA-mu,
Aku
mencintaimu bak rama kepada sinta.
Jangan
biarkan rasaku, menunggu terlalu lama,
Karna
Cintaku tak ingin padam padamu.
Dari
PECINTA-mu.
Di tiap sisi kertas ada hiasannya, dibuat dari spidol warna. Gambarnya aneh tapi aku suka. Setelah
kubaca surat itu, entah kenapa. Tiba-tiba mataku bocor, air mengalir tak
terbendung. Ada rasa bahagia dan rasa sedih melanda hatiku.
Aku menerawang jauh, menembus
langit-langit kamarku. Ya Tuhan, kenapa rasa ini ada di situasi yang tidak
tepat. Perih seperti teriris pisau.
Saat
aku menggenggam tasbih, tapi dia menggenggam rosario. Aku mendiami masjid dan
dia mendiami gereja. Tekun ku baca Al-Qur’an dan dia membaca Injil. Aku berdoa
dengan menengadahkan tangan dan dia berdoa dengan menggenggam tangan.
Makin
perih hati ini. Di mana tempat yang kelak akan menyatukan kita, sedangkan
jurang perbedaan ada di depan mata. Meski tak dapat ku pungkiri hati ini
tertuju padamu.
10 tahun aku mencari keberadannya.
Setelah hari kelulusan, aku tak pernah tahu kabar Masry. Dia seperti hilang dari
bumi ini. Aku mencari kabarnya lewat teman-teman, facebook, instagram. Tapi tak ku temukan keberadaannya. Sedang apa,
dimana dan bersama siapa dia? Apakah Masry sudah punya pasangan atau masih
sendiri atau sudah tiada. Pertanyaan itu selalu menghantuiku.
-------- 000 --------
Motorku berhenti di depan restaurant Wapo. Ku lempar pandangan kesekitar area restaurant.
“Apakah dia sudah datang ?” tanyaku
dalam hati.
Dua hari lalu tanpa sengaja namanya
muncul di laman facebook ku. Aku
benar-benar tidak percaya. Tuhan mempertemukan kami. Setelah obrolan panjang dimassangerakhirnya kami membuat janji
untuk bertemu.Ku lepas jaket biru yang selalu menemani pengembaran dalam
menyusuri kerasnya jalanan. Ada rasa perih didada. Tenggorokanku mengering. Ku
telan ludah berkali-kali. Aku berjalan kedalam restaurant. Bagaimana jika dia
sudah berkeluarga. Pikiranku melanglangbuana. Sambil lirih ku panjatkan doa,
“Tuhan, kumohon bantu aku untuk
melewati hari ini”.
“Berilah yang terbaik”.
Aku
rapikan rambut dan pakaian. Ku mantapkan langkah kaki menuju restauran.
Aku memilih tempat duduk disudut ruangan. Kuharap dia cepat datang dan duduk didepanku. Badannya yang tegap dibalut jaket biru dan celana jeans hitam. Harum aroma tubuhnya menggoda hidungku. Sebuah topi hitam sedikit menutupi wajahnya. Kujabat tangannya, badanku yang semula dingin tiba-tiba menjadi hangat. Rasa apa ini? Dimana, apakah dia masih mempunyainya?Sikap sopan itu, saat SMA selalu menggoda mataku untuk memandanginya tanpa lelah. Kapan topi itu dibuka, ayo buka donk, harapku. Seperti tersihir oleh pintaku, dia tiba-tiba membuka topi dan menyibakkan poninya. Seperti melayang dan menari-nari di awang-awang. “Dia tidak berubah sedikitpun”.Tuhan, hayalan apa ini?
Aku masih sabar
menunggunya. Masih beberapa menit, pikirku. Selama 10 tahun aja aku mampu. Masry
tau kah kau sejak saat itu dan sampai saat ini aku masih memikirkanmu,. Aku
masih merindukanmu, ucapku dalam hati. Apakah dia juga masih punya rasa yang
sama?Aku mampu berjalan hanya dengan kenangan. Aku masih selalu berharap pada
waktu dan berkawan dengan rindu.
Masry, aku menunggumu!
BELAJAR TANPA BATAS
TERIMA KASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar